Temanku Seorang Buruh
Aku duduk di kursi kecil. Kursi untuk anak-anak. Di ruangan ukuran 4 X 3 ini hanya ada dua kursi kecil, sebuah meja kecil, sebuah lemari plastik dan tempat tidur. Inilah isi rumah temanku. Dalam rumah kontrakan ini, dia hidup bersama istri dan dua anaknya yang masih kecil. Sudah lama aku aku tidak bertemu dengannya, sejak aku meninggalkan aktifitasku di perburuhan dua tahun lalu. Aku kebetulan saja melintasi
daerahnya, maka aku mampir ke rumahnya. Setelah berbasa-basi sejenak, temanku mengatakan bahwa dia saat ini sedang dalam kesulitan, sebab bulan depan pabriknya tutup. Menurut dia pabriknya pailit. Maka dia bersama 3000 temannya yang lain dalam minggu ini akan di PHK. Padahal bulan depan anaknya akan masuk SD, rumah kontrakan sudah habis, belum lagi aneka kebutuhan hidup. Dari mana dia akan memperoleh uang untuk semua itu. Keluhnya dalam nada putus asa. Istrinya hanya bisa memandangku penuh harap sambil mengipasi anak-anaknya yang tertidur agar tidak digigit nyamuk. Kulihat mereka tidur berdesakan dalam satu tempat tidur. Aku tidak bisa membayangkan dimana suami istri ini akan tidur bersama, jika dua anaknya tidur bersama mereka dan tidak ada kamar lain? Situasi ini tidak baik bagi perkembangan jiwa anak-anak pikirku. Temanku bercerita lagi bahwa biaya masuk sekolah sangat mahal. Barang-barang sekarang juga sudah semakin mahal. Bagaiamana hidup tanpa pekerjaan di Surabaya? Mau pulang ke desa apa yang bisa dikerjakan di sana? Bapaknya dulu hanya buruh tani. Dia sudah tidak tahu lagi bagaimana cara bertani dan hidup sebagai petani seperti bapaknya. Mau bertahan di Suarabaya apa mungkin? Keluhnya. Aku hanya diam membisu. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Segala bentuk penghiburan dan harapan akan tidak berguna. Mungkin aku masih bisa mengatakan tenang saja, besok cari kerja yang lain. Ini bisa kukatakan sebab aku masih aman. Hidupku tidak digelisahkan dengan kontrak rumah, biaya sekolah anak, biaya hidup sehari-hari. Aku tidak digelisahkan dengan PHK yang berarti hilangnya satu-satunya penghasilan. Aku tidak digelisahkan sulitnya mencari pekerjaan di jaman yang serba sulit ini. Aku hidup dalam kondisi ada jaminan, sedangkan temanku hidup tanpa jaminan sama sekali. Hidup tanpa harapan yang jelas. Jangankan berpikir tahun depan, berpikir untuk makan besok saja sudah susah. Kusodorkan rokok yang baru saja kuambil dari tas kainku.
Pembicaraan mulai berkembang pada situasi politik yang tidak menentu. Dia mengeluh mengapa orang hanya ribut soal presiden sedangkan rakyat ditelantarkan? Apa sih tugas anggota DPR dan MPR? Apakah jika Megawati menjadi presiden keadaan ekonomi akan lebih baik? Apakah Amin Rais bisa menyelesaikan persoalan krisis ekonomi ini? Buat apa sih mahasiswa terus menerus demo yang menyebabkan pengusaha asing takut menanamkan modalnya di sini? Apa sih hasil demo yang bisa dirasakan oleh rakyat kecil? Mengapa mereka tidak bereaksi melihat banyaknya PHK pada saat ini? Banyak orang berteriak membela rakyat kecil, lalu rakyat kecil mana yang dibelanya? Apakah penderitaan ini adalah proses suatu hari esok yang lebih baik? Banyak pertanyaan dari temanku. Tapi lidahku kelu. Aku tidak tahu lagi apa yang bisa kukatakan padanya. Aku hanya bisa menyedot rokok kretetku dalam-dalam. Pemikiran-pemikiran sederhana, namun sulit untuk menerangkan dan menjawabnya. Bagi temanku, dia tidak peduli siapa yang akan menjadi presiden dan menteri.
Bagi dia yang penting adalah adanya jaminan hidup. Tidak perlu hidup yang mewah. Cukuplah hidup sebagai manusia yang layak. Adanya pekerjaan yang layak, pendidikan yang murah, perumahan untuk rakyat yang memadai, dan sebagainya. Kubiarkan temanku ini mengungkapkan segala kejengkelannya. Dia mengatakan banyak orang membenci komunis, sebab Marx mengatakan bahwa agama adalah candu, yang membawa manusia mimpi akan hari setelah kematian. Lalu apakah saat ini kita tidak diajak mimpi? Orang diajak mimpi akan hari esok yang tidak jelas kapan datangnya, padahal saat ini orang kelaparan dan kehilangan harapan. Proses pendampingan yang dilakukan oleh teman-teman aktifis buruh rupanya sudah membuat temanku berpikir kritis meski sejauh dalam wacana orang yang kurang berpendidikan.
Tanpa terasa waktu sudah agak larut. Aku masih ada janji dengan teman-teman di sekretariat. Maka aku pamit pulang. Kutinggalkan beberapa lembar uang yang ada dalam tasku. Dengan wajah tersenyum malu temanku mengatakan apakah rokoknya juga tidak ditinggalkan? Aku tersenyum dan membiarkan rokokku tergeletak di meja kecil. Dalam perjalanan pulang pikiranku berkecamuk. Saat ini orang sibuk berdiskusi tentang SI dan aneka hal yang bisa terjadi. Kemarin, sepintas aku melihat sidang DPR di TV. Kulihat betapa mereka bersemangat dalam bersidang. Adu argumen dan interupsi. Seolah persoalan negara akan terselesaikan. Aku yakin mereka akan terus berdiskusi dan berdiskusi. Adu argumen yang tidak berkesudahan. Mereka terus bisa berdiskusi sebab mereka kenyang. Mereka aman. Mereka memiliki rumah, mobil, aneka jaminan hidup. Mereka mempunyai gaji yang jauh dari cukup. Mereka tidak gelisah akan uang kontrakan rumah. Mereka tidak gelisah akan biaya masuk sekolah. Mereka tidak akan gelisah di PHK. Seandainya mereka merasakan semua kegelisahan itu apakah mereka masih akan ribut soal siapa yang harus menjadi presiden? Jika mereka adalah pejuang rakyat kecil, apakah mereka merasakan penderitaan dan kegelisahan rakyat kecil? Bagaimana mereka bisa memperjuangkan rakyat kecil dan tertindas, jika mereka ada dalam situasi yang aman dan bahkan tidak jarang mereka menjadi penindas rakyat dengan aneka tindak korupsi, pembodohan dan manipulasi dana?
Aku berpaling pada Yesus. Dia memilih suatu pilihan hidup yang berat. Dia berjuang untuk rakyat kecil dan tertindas, maka Dia menjadi bagian dari rakyat kecil dan tertindas. Dia merasakan kelaparan, meski mampu membuat roti dari batu. Dia merasakan ketakutan, meski Dia bisa mendatangkan pasukan dari surga. Dia mengalami penindasan dan pelecehan, meski Dia mampu membebaskan orang lain dari pelecehan dan penindasan. Dia mengalami semua penderitaan rakyat, maka Dia mudah tersentuh dengan penderitaan rakyat. Dia memiliki pengalaman penderitaan, bahkan sampai penderitaan yang tidak terperikan. Siapakah pemimpin yang mengalami penderitaan rakyat miskin? Gandhi adalah salah satu contoh pemimpin yang mengalami penderitaan. Dia memilih untuk hidup sebagai orang miskin. Dia memposisikan diri sebagai rakyat yang dibelanya. Meskipun dia bisa hidup mewah, namun meninggalkan kemewahannya untuk hidup sebagai rakyat miskin. Dengan tetap sebagai bagian dari kaum miskin, dia akan tetap mengalami, merasakan penderitaan kaum miskin. Dia akan tetap memiliki hati yang menjadi semangat perjuangannya. Dia akan mampu untuk tetap konsisten dalam pilihan hidupnya yaitu berjuang bagi kaum miskin. Memposisikan hati menjadi bagian kaum miskin inilah yang tidak mudah. Ada aneka bentuk kenikmatan yang bisa mengalihkan hati dan spirit perjuangan.
Pada awal karyaNya Yesus dicobai oleh setan untuk meninggalkan misi hidupnya dengan memisahkan Dia dari kaum miskin. Godaan ini terus muncul dan mampu ditolak oleh Yesus dengan tegas. Banyak pemimpin yang berasal dari kaum miskin, namun setelah menikmati posisinya, dia melupakan kaumnya. Kaum miskin hanya menjadi batu loncatan saja untuk masuk ke gedung yang megah. Mereka tidak mampu bertahan dari godaan, sehingga memisahkan dirinya dari kaumnya. Jika pemimpin tidak lagi memiliki hati untuk kaum miskin, maka temanku dan kawan-kawannya yang 3000 orang ini tetap akan menjadi orang yang gamang akan hidup, sebab tidak lagi mempunyai harapan, baik akan hidupnya maupun orang yang akan memperjuangkan hidupnya. Padahal temanku dan 3000 temannya bukan hanya mereka yang harus diperjuangkan. Masih berjuta-juta lagi kaum miskin yang harus diperjuangan. Aku mengeluh,.... masihkah hatiku ada di posisi dan menjadi bagian dari orang miskin? Jalan di hadapanku gelap, segelap wajah dan pikiranku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomterlah yang bersifat membangun dan saling membantu. salam hangat serge.